Wanaprastha Asrama

Nedersta, 25 November 2021

Melihat video-video renungan akhir tahun Mbak Nana Padmo di Facebook (yang membahas tentang kemelekatan yang pernah diajarkan oleh Buddha Gautama) jadi teringat saat dulu sering diajak sama almarhum Kakiang Sumberkima untuk menggali tingkatan atau jenjang kehidupan manusia. Dalam Hindu, ada 4 tingkatan atau jenjang kehidupan yang dijadikan dasar untuk mencapai keharmonisan dalam hidup sekarang ini. 4 tingkatan atau jenjang kehidupan tersebut disebut Catur Asrama. Nah kemelekatan yang dibahas sama Mbak Nana itu bisa dikatakan ada kesamaan dengan salah satu Catur Asrama yang itu Wanaprastha Asrama, salah satu bahasan paling lama yang (seingat saya) dibahas bersama Kakiang saat itu.

Saya tidak pernah mengenal kakek saya dari pihak Ajik (Bapak) karena beliau sudah wafat jauh sebelum Ajik bertemu dengan Ibu. Jadi, Kakiang Sumberkima adalah sepupu kakek yang sudah saya anggap sebagai kakek sendiri dan dari beliau lah saya mendapatkan wejangan dan banyak pelajaran hidup. Pada beliau lah saya mengadu dan mencari penjelasan saat saya berada di titik terendah dalam kehidupan saya dan setelah menghabiskan waktu dengan beliau,energi saya terbarukan dan siap untuk menempuh perjalanan lagi, seberat apapun itu.

Selain dari sekolah, dari Kakiang inilah saya mendapatkan penjelasan lebih dalam tentang beberapa ajaran dalam agama Hindu dan salah satunya Catur Asrama yang terdiri dari Brahmacari Asrama, Grhasta Asrama, Wanaprastha Asrama dan Bhiksuka Asrama (Sanyasin). Seperti yang saya bilang bahwa video Mbak Nana membawa ingatan saya akan percakapan kami tentang Wanaprastha dan saat ketika saya memutuskan 2 tahun lalu untuk memulai perjalanan saya di jenjang ini.

Mudah? Tidak mudah karena sebelum saya memutuskan, saya diberikan beberapa tantangan yang sempat membuat saya kecewa dan sedih. Saya pernah ceritakan di sini dan beberapa postingan setelahnya. Namun setelah saya berdiskusi dengan kakak tersayang di Bali, saya seperti dibawa kembali ke masa dimana di depan saya Kakiang duduk bersila dengan senyuman khasnya. Bercerita kepada saya tentang jenjang kehidupan yang nantinya akan kita lalui sampai tuntas (jika kita mau dan berusaha) dimana pada pada tiap jenjang tersebut kita akan mencoba melaksanakan tahapan hidup semestinya untuk dijadikan sebagai bekal untuk ke tahapan hidup selanjutnya. Seperti yang sekarang, tahapan dimana saya mencoba melepaskan diri dari hal-hal keduniawian, melepaskan diri dari segala hal yang mengikat, baik itu hubungan antara teman, pekerjaan, bahkan keluarga. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, jenjang yang menjadi pembahasan yang paling lama buat saya yang saat itu masih terselimuti ego dan masih terasa jauuuuhhhh sekali dari jenjang ini. Namun Tuhan memberikan ijinnya 2 tahun yang lalu ketika saya mendapatkan kesempatan untuk belajar melepaskan, menapaki jenjang Wanaprastha.

Mungkin tiap orang memiliki pemahaman tersendiri mengenai jenjang ini. Hal yang akan saya tulis di sini adalah pemahaman saya tentang tingkatan ini, bukan sebagai acuan mutlak atau kebenaran tentang salah satu Catur Asrama. Sekali lagi ini adalah interpretasi saya tentang jenjang ini dan saya mohon maaf sebelumnya jika ada yang kurang setuju tentang apa yang akan saya tuliskan.

Sebelum memutuskan untuk menjejakkan kaki di tingkatan ini, sebetulnya saya ragu dan kurang yakin apakah saya mampu. Sebagai manusia, saya menyadari bahwa saya masih melekat dan tidak bebas dari segala hal, salah satunya pertemanan. 2 tahun lalu, satu per satu saya ‘dilepaskan’ dari ikatan pertemanan. Ketika ini terjadi saya sempat sedih namun akhirnya ketika pikiran tentang karma yang sudah selesai datang menghampiri, saya tidak bersedih lagi dan malah kedamaian yang saya dapatkan. Dari pelepasan demi pelepasan inilah yang akhirnya saya memutuskan untuk menapaki jenjang Wanaprastha. Tingkatan dimana saya mulai melepaskan diri pelan-pelan dari ikatan dunia, hitung-hitung saya memperbaiki diri ke dalam dan memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk lebih menggali apa arti hidup sebenarnya.

Awalnya saya kira saya akan berjuang habis-habisan, namun setelah berjalan beberapa bulan, saya terkejut sendiri akan apa yang saya capai. Damai, nyaman,bebas dan tenang adalah 3 kata yang bisa saya pakai untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Jujur, ini bukan yang saya harapkan sebelumnya. Saya kira akan ada tangis, akan ada kecewa, akan ada amarah, akan ada banyak pertanyaan yang akan membuat saya tidak bisa tidur dan masih banyak ketakutan yang lain, namun…saya mendapatkan hal sebaliknya, karenanya saya bersyukur.

Banyak yang mempertanyakan keputusan saya, menganggap saya aneh akan kehidupan saya yang bisa dibilang ’hilang dari peredaran’ namun bagi saya ini adalah salah satu tantangan dalam jenjang ini. Bagaimana saya bisa tersenyum ketika saya mendapat pertanyaan, ketika ada yang menyikapi lain, ketika ada komentar-komentar heran dari orang-orang di sekitar saya, sampai akhirnya memberikan jawaban yang sepantasnya. Saya tidak dipusingkan lagi tentang apakah mereka terima atau tidak jawaban saya, tidak ada kekawatiran sama sekali tentang kemungkinan mereka mengerti atau tidak. Salah satu keputusan besar dalam hidup yang pernah saya ambil.

Wanaprastha Asrama bukannya dilakukan saat tanggung jawab kepada keluarga sudah berkurang?

Bagaimana caranya bisa dilakukan terutama saat anak masih kecil dan masih banyak tanggung jawab lain sebagai ibu, istri, anak, menantu, dll?

Jawabannya nanti saya tulis di unduhan selanjutnya yaaaaa….

Åre, 27 Desember 2021

About demaodyssey

A Balinese who is currently living in Stockholm, Sweden. I love to write almost about everything and it helps me to understand more about myself and life.I love traveling, where I can learn a lot about other cultures, I love reading where I can improve my languages skill and learn about others through their works, and photography is one of my passions where I learn to understand nature deeper. I am a dream catcher... and will always be! Thank you for stopping by and hope you enjoy to read my posts. Take care
This entry was posted in 2021, catatan perjalanan, Catatan prajurit kecil and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.