Gadis Kecil dan Pembelaan Diri

Kota Stockholm pada musim pandemi corona ini terlihat sepi, jalan-jalan yang biasanya dipenuhi orang-orang yang lalu lalang sekedar untuk melihat-lihat di berbagai macam toko yang berjejer rapi di jalanan utama ibu kota negeri kulkas ini, sekarang terlihat lengang walaupun matahari bersinar dengan cerahnya. Kuajak kaki ini melangkah menelusuri jalan yang mungkin sudah aku lalui beribu-ribu kali, namun terasa begitu baru seperti aku pertama kali melewatinya. Memang semenjak pindah ke kampung di Haninge, saya jarang pergi ke pusat kota, selain karena kesibukan baik itu sebagai ibu dan istri, saya juga lebih memilih pergi ke hutan kecil di dekat rumah dimana saya bisa berjalan-jalan sambil ditemani burung, serangga dan binatang lainnya. Namun kali ini sebelum saya mengunjungi salah satu tempat favorit saya, kangen rasanya menelusuri sudut-sudut kota yang saya kenal sejak tahun 2008. Hari ini memang rencana saya menghabiskan waktu di Skansen, salah satu museum terbuka yang menyimpan rumah-rumah dari berbagai tahun yang diambil dari beberapa daerah di Swedia. Museum ini akan buka jam 10 pagi dan saya masih punya waktu 1 jam lagi sebelum menginjakkan kaki di sana. Dengan matahari yang menyapa dengan ceria, keinginan saya untuk berjalan kaki ke Skansen dari pusat kota semakin besar, hari yang begitu indah ini akan lebih nikmat jika benar-benar diresapi dalam setiap ayunan langkah.

”Boleh aku ikut?”

Tiba-tiba tangan mungil menggandeng tanganku dan aku sudah tahu pasti siapa pemilik tangan itu. Gadis kecil yang kini memakai celana pendek, baju kemeja lengan pendek dan rambut sebahunya tergerai indah ditiup angin.

”Kamu apa kabar? Memangnya kamu tadi darimana?”

Aku menjawab tanyanya dengan pertanyaan lain. Sampai saat ini masih saja aku dibuat bingung olehnya, karena aku tidak pernah mengetahui kapan aku akan bertemu dengan gadis kecil ini atau harus berapa lama aku menunggu dia datang. Jujur, kadang aku rindu kehadirannya namun seperti yang aku bilang, gadis ini tidak bisa disuruh atau diminta datang semauku. Aku menghargai kebebasan yang dia punya, jikapun rindu menumpuk ingin bercengkerama dengannya, aku hibur diriku bahwa dia baik-baik saja dan masih ingin terbang bebas, berkelana hingga suatu saat dia akan datang. Mungkin ketika dia datang, dia juga memiliki rindu yang sama denganku.

”Baik, lagi ada pertanyaan nih yang membuat penasaran. Kita mulai ngobrolnya sambil jalan ya, kan Skansen lumayan jauh, siapa tahu begitu masuk Skansen kita udah kelar sama satu topik.”

Seperti biasa, aku ijinkan dia mengambil keputusan karena sepertinya ide tersebut bagus untuk kami lakukan. Kayaknya topik kali ini berat, mungkin seberat tugu air dan udara yang ada di jalan menuju ke jembatan yang menghubungkan pulau ini ke pulau kecil dimana museum yang akan kami tuju berada.

”Kamu pernah ga dituduh atas kesalahan yang tidak pernah kamu lakukan?”

”Sering. Memang ada yang menuduh kamu tanpa kamu melakukan kesalahan itu?”

”Iya nih, terus boleh berbagi ga gimana caramu membela diri?”

”Terkadang aku membela diri namun seringnya aku hanya membiarkan saja tanpa berusaha untuk menjelaskan apapun ataupun menyiapkan pembelaan.”

”Kenapa begitu?” Tanyanya dengan alis sedikit berkerut dan hampir menyatu di tengah satu sama lain.

Aku tersenyum sebelum melanjutkan apa maksudku dengan jawabanku sebelumnya. Geli melihat mukanya yang mungil itu penuh tanya dan menunggu jawaban dengan nada tak sabar di suaranya. Sengaja aku pelankan waktu untuk menjawabnya, keisenganku mulai muncul.

”Untuk membela diri, aku biasanya akan mempertimbangkan apakah pembelaanku dan waktu yang aku pakai membela diri itu akan berguna atau tidak. Apakah yang aku bela itu berharga di kehidupanku atau tidak, karena untuk apa aku menghabiskan waktu memberikan pembelaan kepada suatu hal yang tidak berharga dalam kehidupan? Bukankah lebih baik aku pakai waktuku untuk hal-hal yang lebih berharga. Lagian, pernah dengar kalimat… yang menyayangimu tidak memerlukannya, sedangkan yang membencimu tidak akan mempercayainya… nah begitu juga pembelaan. Yang menyayangimu akan mengerti kamu dan tidak memerlukan pembelaan darimu sedangkan yang membencimu tidak akan pernah mau mendengar ataupun mempercayai pembelaanmu itu. Aku belajar banyak beberapa tahun belakangan ini dan sudah bisa lebih melihat kapan aku harus membela diri dan kapan aku lepaskan saja.”

Mata kecilnya terbelalak, sepertinya dia kaget mendengar penjelasanku dan benar saja, tak lama aku dengar protesnya dalam tanya.

”Tapi, kalau kamu tidak membela diri, bukankah mereka yang menuduhmu akan punya bukti bahwa kamu memang salah sedangkan kamu tidak melakukan kesalahan tersebut!”

”Begini sayang, kalau aku sudah melepaskan itu artinya aku tidak akan pernah rasa lagi. Melepaskan bagiku adalah rasa yang sudah hilang, apapun yang nantinya terjadi setelah aku melepaskan tidak akan bisa dan tidak aku ijinkan untuk mempengaruhi hidupku lagi. Jadi, sederhananya ya aku sudah tidak peduli lagi apa kata orang-orang tersebut. Biarkan mereka punya opini, pendapat dan pandangan yang berbagai macam, itu hak mereka dan aku tidak punya hak dan kontrol akan reaksi mereka. Ijinkan mereka memilih karma mereka sendiri, jangan dihalangi. Apapun itu, baik atau buruk pikiran mereka bukan kita yang menentukan, kita pilih saja karma yang kita siap menerima konsekuensinya baik itu karma baik atau buruk. Kalaupun atas seijin Tuhan, kita dipertemukan lagi oleh karma, biarlah itu menjadi rahasia saat ini karena aku yakin, apapun reaksi kita saat itu adalah hasil pembelajaran dan hasil dari proses yang kita jalani sekarang. Aku biasanya akan menikmati dan menerima apapun keputusanku dan menghargai diriku dengan memberikan fokus ke hal-hal yang bisa aku kerjakan dan hal-hal yang aku bisa belajar tentang hidup ketika aku berada di jalan tersebut.”

”Ahaaaa, sekarang baru aku mengerti, terima kasih!”

Senyumnya melebar dan aku lihat binar matanya, sepertinya aku bisa melihat kalau dia mengerti lebih jelas akan maksudku tentang prinsip pembelaan diri.

Terkadang, kita memang dihadapkan oleh pilihan sulit antara keinginan untuk membela diri dan menjelaskan yang sesungguhnya atau melepaskan dan bersikap acuh serta siap menerima konsekuensi atas tidak adanya pembelaan diri. Sebagai manusia, tentu saja saya sering menghadapi hal seperti ini, namun saya sudah belajar banyak untuk berdamai dan tidak terlalu mengutamakan pembelaan diri dalam hal-hal yang tidak akan mempengaruhi hidup saya di masa depan. Belajar melepaskan, toh pada  akhirnya kita akan sendiri seperti saat kita lahir dan melihat dunia pertama kali. Aksi dan reaksi adalah yang kita ambil adalah tanggung jawab kita, baik kepada diri sendiri, pada karma dan pada Sang Pemilik Nafas. Saya tidak mau membuang-buang waktu, apalagi orang-orang sudah memiliki benci pada saya tidak akan mau mempercayai apa yang saya katakan, di mata mereka saya akan tetap salah. Jadi pantaskah saya berikan waktu saya yang berharga buat mereka? Jawaban saya jelas TIDAK!

Hidup ini milik saya, perjalanan membayar karma adalah jalan saya sendiri, orang-orang yang saya temui akan menjadi bagian namun bukan pengambil keputusan dan bukan orang yang bertanggungjawab di akhir nanti. Pengertian ini yang membuat saya bisa menerima jika orang-orang yang saya temui di pengembaraan kali ini, banyak yang membenci dan tidak suka dengan saya dan kehidupan yang saya jalani. Saya kira wajar karena sekali lagi, saya tidak bisa membahagiakan semua orang dan saya hidup bukan untuk menjalani karma orang lain, bukan untuk mendapat persetujuan orang lain untuk melangkah. Yang menjadi milik saya tidak akan pernah hilang atau meninggalkan saya, mereka mungkin kadang tidak nampak dan tidak ada di samping saya, namun mereka akan menerima saya dengan ketidaksempurnaan saya, begitu juga saya akan menerima mereka dengan ketidaksempurnaan mereka. Mencari bekal yang cukup adalah hal yang saya ingin capai dan kalau untuk mencapai itu saya harus dibenci, dijauhi, difitnah, dicaci atau apapun itu…saya akan menerimanya, saya akan menempuh jalan itu karena membawa bekal yang cukup untuk menghadapNYA lebih penting dari sebuah sapaan semu atau tikaman belati di punggung.

Tanpa saya sadari, gadis kecil itu sudah menghilang bahkan ketika langkah ini belum sampai di Skansen. Saya hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang bukan pertama kali meninggalkan saya tanpa pamit, kebiasaan yang sebenarnya bisa saja menjengkelkan namun saya menikmatinya. Entahlah apakah saya sudah bisa dikategorikan orang yang aneh, saya sendiri tidak tahu… biarlah orang yang menilai.

”Jalani karmamu, engkau sedang dipahat untuk menjadi sebuah patung yang unik. Kamu sudah belajar untuk memilih pertempuran mana yang perlu kamu bela dan pertempuran mana yang harus kamu lepaskan. Aksi dan reaksimu ada di tanganmu dan bukan orang lain, jangan takut mengambil keputusan walaupun kamu sendirian nantinya. Tentukan langkah yang bisa kamu pertanggungjawabkan jika ragamu siap meninggalkan perjalanan karma untuk melanjutkan perjalanan untuk mempertanggungjawabkan apa yang kamu lakukan ketika diberi kepercayaan lahir sebagai manusia.”

 

Haninge, 13082020

About demaodyssey

A Balinese who is currently living in Stockholm, Sweden. I love to write almost about everything and it helps me to understand more about myself and life.I love traveling, where I can learn a lot about other cultures, I love reading where I can improve my languages skill and learn about others through their works, and photography is one of my passions where I learn to understand nature deeper. I am a dream catcher... and will always be! Thank you for stopping by and hope you enjoy to read my posts. Take care
This entry was posted in 2020, catatan perjalanan, Catatan prajurit kecil, Jejak 2020, photography and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.