Matahari bersinar cerah dan dengan indahnya menghiasi setiap hijau di pojok taman yang ada di belakang rumah. Taman dimana aku menghabiskan banyak waktu baik itu sendiri ataupun bersama keluarga. Seperti hari ini, aku duduk berjemur di tikar lipat yang sering kami pergunakan untuk piknik sambil tanganku sibuk merajut badan boneka dari salah satu perancang amigurumi kesukaanku. Suara dengung lebah yang ramai mengelilingi ungunya bunga lavender kesayangan, samar-samar kucium baunya yang menenangkan. Damai dalam kesendirian hari ini, sebelum…
”Hei, lagi sibuk?”
Seorang gadis kecil tiba-tiba duduk di sampingku sambil memainkan benang warna warni yang teronggok di sekitar tas merajutku. Apakah aku terlalu tenggelam dalam rajutanku sehingga kehadirannya tidak aku ketahui. Aku sendiri tidak bisa memprediksi kapan dan dimana gadis mungil ini ingin datang dan menyapaku, namun sepertinya kami akan mengobrol lagi, setelah aku melihat pancar keingintahuan yang maha besar dari matanya.
”Tidak juga, hanya menghabiskan waktu sebentar sekalian melemaskan tangan agar motorik halus tetap terlatih. Faktor umur, jadi banyak latihan yang harus dilakukan agar badan tidak kaku dan masih bisa digunakan sebaik-baiknya”.
Aku menjawabnya bersamaan dengan tanganku meletakkan benang dan jarum rajut yang ada di tangan. Senyum termanis aku berikan padanya, aku mengijinkan dia menanyakan apapun yang ingin dia ketahui. Toh kami sudah tahu satu sama lain berpuluh-puluh tahun lamanya, walaupun dia terkadang tidak sering aku jumpai namun akan muncul ketika kami saling membutuhkan.
”Aku dengar banyak yang tidak suka berteman denganmu karena kata mereka kamu bermulut pedas. Pastinya kamu sudah dengar tentang kabar itu, bukan? Tapi sejauh aku lihat, kamu tidak terpengaruh sama sekali dengan omongan mereka, bahkan kamu tidak kelihatan sedih ketika mereka memilih menjauh darimu. Boleh aku tahu kenapa?”
Kuberikan pelukan hangatku sebelum aku melanjutkan membuka mata gadis kecil ini tentang siapa aku.
”Aku seseorang yang tidak suka berpura-pura, dalam artian kalau aku tidak suka, aku akan mengatakan tidak suka secara jujur. Kalau menurutku itu salah dan tidak sesuai dengan nilai yang aku pegang, maka aku akan bersuara lantang. Tidak jarang aku berkata keras kepada orang yang dulunya menganggap aku teman, karena aku tahu mereka bisa, karena aku ingin mereka tumbuh bersamaku. Namun aku mengerti, sering kali kata keras yang aku lontarkan kepada orang-orang tersebut dinilai terlalu pedas, dinilai kasar, dinilai terlalu melewati dan menginjak harga diri mereka, terkadang kejujuran yang aku ungkapkan menjadi bom yang mereka tidak suka dan memilih untuk melemparkan bom itu kembali padaku. Niatku untuk tumbuh bersama mereka, niatku untuk memberikan semangat karena aku tahu mereka mampu, dinilai salah. Aku belajar bahwa menerima itu dengan hati lapang, menerima bahwa mereka tidak suka caraku, ikhlas melepaskan mereka untuk berjalan menjauh dari jalanku. Kabar itu sudah sering aku dengar, bagiku itu bukan kabar baru. Kenapa aku tidak sedih atau terpengaruh? Karena aku tahu mereka punya pilihan, sama seperti aku yang yakin akan pilihanku baik dalam bersikap dan aku tidak bisa memakai topeng hanya untuk menyenangkan mereka. Yang aku tawarkan adalah tumbuh bersama yang artinya kita bisa saling berdiskusi, saling mengingatkan dan saling menyangga satu sama lain dalam kondisi apapun. Namun jika bagi mereka itu tidak bisa mereka lakukan ya aku akan menghargai pilihan mereka. Jujur, bagiku tidak ada gunanya memaksa seseorang menjadi teman kita karena pada akhirnya nanti, sesuatu yang dipaksakan tidak akan bisa bertahan lama. Teman yang dikirim dan diijinkan oleh Tuhan menjadi teman sejatimu, akan mampu menerima kepedasan kata-katamu, begitu juga sebaliknya karena jika kita ditakdirkan berteman maka kita akan sanggup mengerti ada apa dibalik sebuah kepedasan, kekerasan kata atau kejujuran tersebut ”.
Aku melihat senyum tipis di bibirnya, membuat aku sedikit curiga, apa gadis ini sedang mengujiku atau sedang menyalurkan rasa ingin tahunya.
Seseorang yang kita temui dalam perjalanan kita ada 2 macam, antara mereka adalah berkat (blessing) atau pelajaran (lesson). Keduanya sama-sama memberikan makna yang dalam, keduanya mewakili karma baik dan karma buruk. Jika karma baik kita datang, maka orang tersebut akan menjadi berkat dalam kehidupan kita dimana pasti ada damai dan kebahagiaan di dalamnya. Namun jika karma buruk menghampiri dan pelajaran yang kita dapat, damai dan kebahagiaan juga ada di sana namun disertai dengan mata kuliah yang lain, terkadang sakit, melepaskan, ketidakadilan, dan sebagainya. Keduanya akan mendatangkan syukur dan terima kasih yang tidak terhingga (setidaknya buatku) dan akan memberi warna tersendiri di buku kehidupan kita, seperti pelangi yang indah karena paduan berbagai macam warna. Ibaratnya ketika orang yang kita temui itu adalah berkat maka orang tersebut seperti minyak/air yang digunakan untuk memoles atau membasuh patung sehingga terlihat lebih indah. Sedangkan ketika orang tersebut adalah sebuah pelajaran, ibaratnya mereka adalah sayatan yang juga akan membuat hasil patung yang indah, namun tentu saja ada bonus pelajaran lain di dalamnya. Semoga dari penjelasan ini kita mengerti bahwa hasil akhir adalah sebuah patung, namun proses yang membuatnya berbeda makna.
Jalan kehidupan ini hanyalah milikmu seorang (seperti kata kakakku tersayang di Bali sana) jadi kita yang menjalani dan kita juga lah yang nantinya akan mempertanggungjawabkannya, sendiri di alam pengadilan dimana hanya ada kita dan Sang Pencipta. Kita tidak bisa menyeret orang lain ke dalam langkah-langkah yang kita sudah ambil, kita tidak bisa menyalahkan mereka (yang datang sebagai pelajaran) sebagai biang keladi dari karma buruk kita. Hanya kita dan diri kita yang memegang tongkat dan menuliskan karma kita di kehidupan kali ini. Mereka, baik yang datang sebagai berkat maupun pelajaran adalah bagian dari sebuah proses kita dalam pembayaran karma dan bukan sebagai aktor pemeran utama ataupun pemeran pengganti. Mereka naskah yang dikirimkan Tuhan, namun reaksi kita yang dihitung akan naskah yang sudah ada di genggaman. Apakah kita bisa mengubah naskah? Saya kira bisa, jika kita mau, yakin dan berusaha namun yang terpenting adalah jika Tuhan mengijinkan. Tanpa ijin dariNYA, perjalanan kita tidak akan bermakna.
Pemahaman-pemahaman inilah yang menjadi dasar mengapa aku tidak pernah sedih, marah atau kecewa jika dijauhi teman. Landasan yang membuat aku kuat, bukan hanya terlihat kuat, namun kuat yang sesungguhnya walaupun banyak cemooh dan hinaan menghampiri. Kehilangan, diacuhkan, ditinggalkan, dijauhi teman bukanlah sebuah akhir dari perjalanan namun aku menganggapnya sebagai bab yang sudah tertutup dan berarti kita akan memasuki bab yang baru. Entah di bab baru itu akan ada teman ataupun tidak di dalamnya, satu hal yang pasti proses menjalani karma dan pembelajaran di Universitas Kehidupan akan terus berlangsung hingga kita mencapai bab terakhir, bab penutup yang bisa kita lihat seberapa bekal yang kita punya menghadap Sang Pemilik Jiwa.
Gadis kecil itu memberikan pelukan hangat padaku, senyum lebar terpampang di wajah kecoklatan miliknya. Bisik lirih di telingaku…
”Jalani karmamu, engkau sedang dipahat untuk menjadi sebuah patung yang unik. Berkat dan pembelajaran yang akan kau dapatkan dari orang-orang yang kau temui di perjalanan karma kali ini akan sama-sama menghasilkan sebuah patung. Dirimu yang menentukan seberapa dalam sayatan dan polesan yang engkau inginkan dan ijinkan menyentuh tubuh dan hatimu. Di akhir nanti akan kau lihat sendiri, seberapa banyak bekal yang kau kumpulkan untuk perjalanan keabadianmu atas bantuan kedua hal itu. Engkau yang memegang kendali dalam kapal ini, engkau yang memegang pena untuk menuliskan kisah pembelajaranmu dan mata kuliah apa saja yang sudah dan ingin kamu tempuh di Universitas Kehidupan pada kesempatan ini”.
”Aku bangga padamu!”
Kalimat terakhir dari bibir mungilnya sebelum dia menghilang dari hadapanku. Kepergiannya diiringi senyuman lebar dan kerling mata nakal. Aaaaaahhh… kenapa aku merasa bahwa dia mengujiku ya?!
Haninge 11082020